Label

Senin, 08 Agustus 2011

Kerja (supir angkot) yang dikaji dengan menggunakan teori Karl Marx tentang kerja dan keterasingan dalam pekerjaan”


Bab I
Pendahuluan


Setiap individu atau kelompok memiliki tujuan hidup yang lebih baik. Dan untuk mencapai tujuan itu, maka setiap individu atau kelompok mesti memiliki cara atau metode tertentu. Dan salah satu cara yang mutlak adalah harus bekerja. Bekerja menjadi hal penting untuk menunjang hidup individu atau kelompok. Kemudian, mengapa sekarang bekerja menjadi masalah sosial? ‘Keterasiangan’  ya, keterasingan yang menjadi dasar bagi masalah sosial (kerja) yang terjadi dalam kehidupan bermasyarakat.
Bekerja berarti bahwa manusia mengambil bentuk alami dari objek yang alami dan memberikan bentuknya sendiri. Bagi petani yang kecakapannya terlihat atau tercermin dalam sawah yang menghijau, bagi tukang las, para ilmuan, bagi ibu yang memasak, adalah suatu kenyataan manusia yang alami.
Manusia selalu melahirkan kekuatan-kekuatan hakekatnya kedelam realitas alami. Dengan demikian alam menjadi alam manusia, mencerminkan siapa manusia itu, membuktikan realitas  hakikat manusia itu.
Makna pekerjaan itu recermin dalam perasaan bangga. keringat yang tercurah tidak berarti apa pun, ketika dihadapkan dengan kebanggaan melihat hasil pekerjaan kita.
Dan isu kerja ini diangkat kemudian, dikaji dengan teori Karl Marx tentang kerja dan keterasingan dalam pekerjaan, karena bagi saya pekerjaan merupakan suatu bagian dalam perkembangan maupun pertumbuhan manusia. Dalam pekerjaan, manusia akan hidup karena  hasil  kerjanya. Dan begitu pula sebaliknya manusia hidup dalam pekerjaannya. Seoarang manusia tidak akan memperoleh kehidupan dan melewati sengitnya perlawanan Alam jika manusia tersebut hanya tetap berdiam diri, dan berpangku tangan dalam melewati proses kehidupan secara terus menerus. Dari hal-hal ini maka yang dapat disimpulkan adalah pekerjaan merupakan jantung, atau hal pokok bagi  hidup setiap manusia untuk menjadi manuasia yang manusiawi.
Pekerjaan sebagai hidup manusia pasti memiliki hubungan yang erat dengan hakekat manusia dan yang sangat mendasar adalah perjuangan memperoleh suatu kebutuhan hidup manusia yang bahagia.  Perjuangan ini di barengi dengan kerja. Kerja adalah suatu realita hidup yang penuh dengan berbagai macam persoalan dan kenyataan. Entah itu kenyataan yang baik atau buruk. Hal seperti inilah yang membuka mata seorang tokoh radikal dan sosialis, yaitu Karl Marx. Dalam pemikirannya yang menekankan fenomenologi manusia khususnya berkaitan dengan ekonomi manusia. Dan yang dipertanyaakan dalam tulisan ini adalah, Apakah pekerjaan itu mampu membawa manusia pada pengembangan diri dan memperoleh kebahagiaan?, ataukah sebaliknya pekerjaan itu sangat membelenggukan manusia?.

Bab II

Kehidupan supir angkutan kota yang sarat tujuan namun miskin akan makna. Masalah ini diambil karena berbagai macam pertimbangan dan sesuai dengan pengalaman saya sendiri, di mana kehidupan saya diringi di tengah-tengah masyarakat yang hampir 30% adalah supir angkot. Masalah ini patut di lihat karena banyak terjadi penyimpangan-penyimpangan yang menyebabkan banyak pemuda harus putus sekolah dan meninggalkan rumah orang tua mereka agar mendapatkan uang, yang bagi meraka adalah tujuan hidup. Selain hal-hal ini kehidupan supir angkot menjadi suatu sorotan yang perluh dilihat karena harus bekerja suntuk menafkai keluarga meraka namun juga harus berpacu dengan begitu banyak pekerjaan lainnya agar mendapatkan setoran yang kemudian diberikan kepada para  pemilik angkot (kapitalis).  Bila dilihat sekilas ada canda tawa dalam setiap pekerjaan mereka namun tak sedikit pula wajah muram dan penuh beban yang juga ditampilkan.
Dan teori Marx tentang kerja dan keterasingan ini menjadi suatu pilihan yang sangat tepat untuk menganalisis pekerjaan supir angkot ini. Teori ini dipilih oleh saya karena ada kesesuaian, sekalipun konteks awal yang Marx angkat bagi teori ini adalah untuk kaum buru namun sebenarnya para pengemudi angkutan kota ini juga mengalami permasalahan yang tidak jauh berbada dengan realita buru yang harus berjuang ditengah-tengah kaum kapitalis.
Nampak dalam realitas supir angkot yang ada di kota ambon ini, mereka banyak mengalami keterasingan-keterasingan dalam pekerjaannya. Dalam pekerjaan ini, supir angkot bisa dikatakan sebagai buru, atau bisa juga disebut budak. Mereka bekerja untuk majikan atau tuannya. Sama halnya dengan kaum buru yang dibahas oleh karl marx di jerman. Supir angkot satu hari harus mencari dan mensetor uang kurang lebih Rp150.000-250.000. padahal untuk mendapatkan uang sebanyak itu, mereka harus mengorbankan tubuh, jiwa, dan raganya. Untuk lebih lengkap dalam melihat fenomena ini maka kita akan membahasnya dalam pembahasan selanjutnya.

Bab III
Pembahasan
Sebelum kita menganalisi masalah yang ada dengan teori yang dipilih untuk itu kita perlu melihat sedikit penjelasan tentang teori  pekerjaan dan keterasingan atau alienasi menurut Karl Marx sendiri. Setelah itu kita akan masuk dalam pemaparan masalah, dan akhirnya melakukan analisis terhadap teori dan isu.

·         Pekerjaa menurut Karl Marx
Bagi Marx, pekerjaan adalah tindakan manusia yang paling mendasar. Dalam pekerjaan manusia membuat dirinya menjadi nyata. Setiap manusia pasti melakukan pekerjaan. Aktifitas manusia yang paling tersembunyi seperti, berfikir, menghayal maupun kegiatan kasat mata contohnya bercocok tanam, bersepeda, dan berjalan merupakan suatu pekerjaan. Tidak jarang manusia berusaha mencari dan mendapatkan pekerjaan itu. Boleh dikatakan pekerjaan merupakan hasrat lahiriah manusia. Keberadaan manusia disertai kodrat untuk melakuka pekerjaan ini. Sehingga manusia tidak bisa mengingkari kodrat pekerjaan.
Pekerjaan sebagai suatu kodrat manusia tidak ada dalam makhluk hidup yang lain seperti binatang dan tumbuh-tumbuhan. Intinya Marx mangatakan dalam bahasanya, “pekerjaan sebagai suatu kekhasan manusia. Oleh karena pekerjaan sebagai suatu kekhasan untuk membedakan dirinya dengan makhluk lain maka setiap orang berusaha melakukan pekerjaannya dengan penuh tanggung jawab”. Manusia mengidentifikasikan dirinya dengan pekerjaan. Kemudia Marx mengemukakan pekerjaan merupakan sarana obyektifitas diri manusia. Pekerjaan sebagai objek menjadi sarana untuk mengungkapkan  kemampuan dan bakatnya. Manusia bisa mengaktualisasikan dirinya dalam pekerjaan. Sehingga ketika seseorang tidak menghargai atau melecehkan hasil pekerjaan orang lain maka ia akan merasa dirinya dilecehkan atau direndahkan. Selanjutnya pekerjaan itu sungguh mempunyai makna bagi manusia itu. Hasil pekerjaan manusia turut memberikan pengaruh yang amat besar bagi kehidupan manusia baik secara fisik demi pertumbuhan badannya maupun kebutuhan psikis (kepuasan batinnya). Selain pekerjaan itu bermakna bagi diri manusia sendiri, tetapi pekerjaan itu juga memiliki keterkaitan dengan sifat dasar manusia sebagai makhluk sosial.
Melalui pekerjaan manusia membuktikan diri sebagai makhluk sosial. Tidak mungkin setiap orang menghadirkan sendiri segala sesuatu yang dibutuhkannya. Pekerjaan kita membuat orang lain gembira. Kita merasa berarti karena tahu bahwa kita berarti bagi orang lain. Tanpa mengenal waktu dan ruang. Misalnya sebuah buku bisa dikonsumsikan oleh setiap orang baik yang tua maupun muda seturut kapasitas baik, pada masa lampau, sekarang maupun  masa yang akan datang.

·         Keterasingan atau alienasi kerja menurut Karl Marx
Karl Marx berkata, “bagi kebanyakan orang dan khususnya bagi para buru industri dalam sistem kapitalisme, pekerjaan tidak merealisasikan hakikat mereka melainkan mengasingkan mereka”. Pekerjaan menjadikan manusia terasing dengan dirinya sendiri. Semakin maniusia (buruh) itu sibuk dan terlarut dalam pekerjaannya dan tidak pernah merileksasikan badan dan jiwa, apalagi tidak punya waktu untuk merefleksikan pekerjaannya, maka dunia batinnya kosong, kering dan jenuh.
Ada tiga segi keterasingan dalam diri pekerja. Pertama, segi produk. Produk kerjanya bukan untuk dirinya sendiri melainkan untuk si pemilik perusahan (kapitalis). Kedua, tindakan kerja kehilangan maknanya. Kerja bukanlah suatu tindakan bebas namun atas paksaan demi suatu upah. Ketiga memperalat pekerjaan demi pemenuhan kebutuhan hidup bukan suatu aktualisasi diri untuk pengembangan diri dalam memperoleh kebahagiaan. Keterasingan terhadap diri mengakibatkan hubungan personal di antara sesama manusia akan terganggu. Seseorang akan lebih mengarahkan seluruh perhatiannya demi pemenuhan kepentingan diri dan mengabaikan orang lain sebagai relasi sosial, dan  yang terjadi sejauh hubungan ini  mendatangkan keuntungan. Misalnya menjalin relasi antara buruh dengan pemilik modal, penjual dengan pembeli dan lain-lain. Boleh diartikan bahwa relasi yang terjadi hanya bersifat fisik dan permukaannya saja tanpa keterlibatan hati. Masyarakat industri merupakan periode, dan hidup adalah suatu periode yang didominasi oleh persaingan dan pertentangan. Pertentangan kepentingan antara kapitalis dengan kaum buru menjadi permasalahan pokok dan utama. Para kapitalis menginginkan keuntungan yang besar dengan menekan upah kaum buru dan memperpanjang jam kerja. Sedangkan kaum buruh atau pekerja menginginkan upah yang cukup demi pemenuhan kebutuhan hidup mereka. Dengan demikian kaum kapitalis maupun kaum buruh bersama-sama ingin mencari keuntungan. Terjadilah persaingan antara sesama kaum buruh. Sikap loyalitas dan pengabdian menjadi tuntutan agar mendapatkan upah yang baik dan lebih lagi agar mendapatkan reputasi baik dari para majikan agar tidak di-PHK- kan (pemutusan hubungan kerja). Sementara di antara para kapitalis terajdi persaingan agar bisa merebut pasar dengan keuntungan yang besar. Dengan demikian manusia menjadi terasing dengan dirinya maupun sesama. Persaingan menjadi ciri khas relasi manusia masyarakat industri. Marx juga melihat bahwa persaingan ini merupakan keterasingan. Tanda keterasingan adalah uang. Manusia tidak lagi bertindak demi sesuatu yang bernilai pada diri sendiri atau demi kebutuhan sesama, melainkan sejauh tindakannya menghasilkan uang. Sikap individualisme san egoisme akan tampak. Inilah kekhasan masyarakat industri. Usaha untuk meraih kepentingan pribadi menjadi hal yang utama.
Karl Marx menganalogikan hubungan yang tidak terasing, seperti hubungan indah antara laki-laki dengan perempuan. Hubungan ini bersifat langsung, dan alami. Dalam hubungan yang alami ini, hubungan manusia dengan alam langsung menjadi hubungan dengan manusia, sebagaimana hubungan manusia langsung dengan alam. Dalam cinta laki-laki dan perempuan saling menjadi kebutuhan yang alami dan terciptanya kegembiraan demi pemenuhan kebutuhan tanpa melirik pada pemenuhan keuntungan egoisnya sendiri. Apabila dua orang saling mencintai maka mereka ingin saling membahagiakan.

·         Pemaparan masalah
Seperti yang telah dijelaskan dalam bab-bab sebelumnya isu kerja ini menjadi suatu pokak yang sangat penting ketika kita akan melihat permasalahan yang ada dalam realita supir-supir angkot yang sarat akan tujuan namun miskin akan makna. Dari realita kehidupan yang bertahun-tahun dialami oleh saya dalam lingkungan pengemudi (termasuk ayah saya sendiri). Banyak hal yang terjadi, kebanyakan pengemudi supir angkot ini memiliki tingkat pendidikan di bawah rata-rata meskipun ada sebagian kecil yang mencapai bangku kuliah namun tidak sedikit juga, para pemuda yang harus putus sekolah agar mendapatkan tujuan mereka yaitu uang yang banyak. Awalnya dipikirkan sebagai ajang coba-coba dan melihat bagaimana sulitnya ayah, teman, dan saudara mereka mengemudikan angkutan kota. Namun karena diperhadapkan dengan uang yang sangat banyak akhirnya kecanduan dan menyebabkan pemuda-pemuda ini harus putus sekolah.
Jika dilihat dari sisi yang lainnya yaitu, kehidupan para pengemudi yang sudah puluhan tahun mengemudikan mobil demi menafkai kehidupan keluarga mereka, menyekolahkan anak mereka, dan sebagainya harus berhadapan dengan uang setoran yang cukup besar tergantung tipe angkutan apa yang dikemudikan. Selain itu persaingan pun terjadi antara pengemudi-pengemudi ini bila ada dalam satu kepemilikan maka, akan berlomba-lomba untuk memberikan uang setoran. Mana yang banyak dan mana yang sedikit untuk mendapatkan hati seorang pemilik angkutan kota ini. Ada juga isatilah yang biasa kita kenal denga supir tetap dan supir bantu. Kedua realitas ini sebenarnya membingungkan karena hasil kerja yang didapatkan bukan lagi dibagi berdua antara pemilik dan pekerja tetapi dibagi bertiga karena harus dibagi dengan pembantu pekerja, sebut saja demikian namun pemilik tetap memiliki jata yang lebih banyak (uang setoran). Selain hal-hal di atas ada juga hal yang pasti sudah diketahui oleh kita, yaitu pemungutan liar oleh para penegak hukum. Katanya uang tutup mulut agar tidak diswiping. Ini adalah sedikit realita yang tealh disampaikan maka dari pemaparan masalah ini, apakah ada hal yang bisa dimaknai oleh para supir angkot ataukah yang penting tujuannya mendapatkan uang agar bisa menafkai keluarga dan memberikan setoran kepada pemilik angkot, Tanpa memikirkan kesenangan pribadi mereka. Dan untuk kelanjutannya kita akan mencoba menganalisis masalah dan realita yang terjadi dengan teori Karl Marx.

·         Analisi teori dan isu
Dalam pemaparan Marx tentang keterasingan manusia maka yang dapat kita lihat bahwa, ternyata supir angkot yang ada bisa dikatakan mengalami keterasingan kenapa demikian karena pekerjaan yang mereka lakukan selama enam hari dalam seminggu, waktu pagi sampai malam harus berkecamuk dengan pekerjaan yang mereka geluti dan dalam pemikiran mereka hanyalah untuk membayar setoran dan menafkai kehidupan keluarga mereka. Dari semua hal ini tidak jelas kapan mereka berefleksi tentang pekerjaan tersebut, waktu berkumpul bersama keluarga pun menjadi suatu hal yang sebenarnya cukup sulit.
Tiga keterasingan dalam diri pekerja yang dipaparkan oleh Marx, bila dilihat dalam pekerjaan supir angkot maka yang akan kita dapatkan adalah segi produk, yang mana produk kerjanya bukan bagi dirinya sendiri karena harus memberikan uang setoran bagi pemilik perusahan atau angkutan yang dibawanya. Dan kerja yang dilakukan ini bukanlah suatu tindakan yang bebas untuk kesenangan diri tetapi memiliki unsur paksaan yang memiliki tujuan dibalik semua itu yaitu upah. Dan upah ini adalah uang, seperti yang telah dipaparkan oleh Marx sendiri bahwa uang adalah tanda keterasingan.  Hal ini membuktikan keterasingan kedua yang dipaparkan oleh Marx. Keterasingan yang ketiga, yang mana ketika pekerjaan sudah dianggap sebagai alat bagi pengemudi angkutan kota dan sebagai pemenuhan kebutuhan bagi keluarga mereka dan tidak dianggap sebagai pengaktualisasian diri untuk memperoleh suatu kebahagian dalam diri.
Keterasingan-keterasingan seperti ini khususnya dalam diri mengakibatkan para supir angkot akan mengalami gangguan terhadap hubungan personal. Di mana, demi mendapatkan keuntungan maka akan mengabaikan relasi sosial dengan orang lain. Misalnya menjalin relasi antara pemilik angkot dan pengemudi sendiri tidak secara emosional dalam bentuk hati namun fisik saja dengan cara memberikan setoran di atas rat-rata agar tetap dipertahankan dan menjadi supir tetap. Sedangkan pemilik angkot hanya memikirkan keuntungan yang besar, namun pengemudi angkot yang lainnya akan mengalami guncangan yang cukup kuat karena memberikan setoran lebih kecil dari pengemudi angkot lainnya. Hingga terjadi persaingan antara pengemudi dan pemilik dan juga pengemudi A dan pengemudi B. Suatu pengapresiasian yang baik bagi seorang pengemudi yang belum berkeluarga. Namun ketika seorang pengemudi yang lainnya harus bergumul dengan kehidupan dan biaya hidup anak dan isterinya. Intinya pengemudi yang setorannya di bawah rata-rata ini akan mengalami reputasi yang buruk dari pemilik angkot sehingga terancam di pecat. Hal-hal seperti ini lah yang menyebabkan pengemudi akan mengalami keterasingan bukan hanya dengan dirinya tetapi juga dengan orang lain. Dan bila melihat pemikiran Marx maka persaingan yang terjadi merupakan suatu keterasingan. Maka pengemudi tidak lagi melakukan pekerjaan demi sesuatu yang memiliki makna atau nilai namun sejauh tindakannya untuk mencapai tujuan, yaitu uang.
Dari realita seperti inilah sikap individualisme dan egoisme akan terlihat. Usaha pengemudi untuk meraih kepentingan pribadi menjadi hal yang sangat diutamakan.  Maka dari semua ini hasil analisis teori dan isu tentang kerja yang diangkat serta masalah dalam realita supir angkot adalah para pekerja supir angkot masih banyak yang mengalami suatu keterasingan terhadap pekerjaan diri sendiri maupun orang lain.


Bab IV
Penutup

a). Saran
Saran yang perlu dilihat dalam penjelasan-penjelasan di atas adalah pekerjaan seharusnya bukan dilihat dalam bentuk uang saja tetapi bagaimana kepuasan yang kita dapat. Namun permasalahannya bagaimana mendapatkan kepuasan itu. Ketika keadaan ditengah-tengah kehidupan supir angkot ini penuh dengan berbagai macam persaingan, dari persaingan seperti ini menimbulkan keterasingan antara pemilik dan pekerja karena itu butuh jalan keluar yang perlu ditawarkan, bagi Marx penghapusan upah menjadi jalan keluar dan penhapusan kapitalisme, yang ada hanya kaum biasa atau masyarakat umum. Dengan demikian setiap orang melakukan pekerjaan demi kepentingan umum. Namun disini pemerintah juga harus sistem kerja yang bisa mengembangkan kepribadian manusia agar manusia yang adalah pekerja  memperoleh kebahagiaan. Namun hal yang perlu diperhatikan juga adalah pengaturan jam kerja bagi para pengemudi ini agar waktu berkumpul bersama keluarga dapat sedikit intensif. 

b). Kesimpulan
Dari beberapa penjalasan yang telah disampaikan maka kesimpulan yang dapat kita lihat dari argumentasi Karl Marx tentang pekerjaan dan keterasingan bagi pekerjaan seorang supir angkot atau pengemudi ini adalah. Pertama, pekerjaan dan keterasingan dalam pekerjaan merupakan suatu tindakan aktualisasi diri yang supaya manusia bisa berkembang dan bahagia. Kedua, keterasingan dalam pekerjaan (supir angkutan kota) seringkali terjadi dalam ruang lingkup masyarakat industri. Dalam hal ini ada pemilik angkot sebagai pemilik modal (kapitalis) dan pengemudi sebagai pekerja. Ketiga, upahan (uang) merupakan penyebab keterasingan dalam pekerjaan. Keempat, hubungan karena upahan (uang) mengakibatkan terjadi suatu perselisihan.

1 komentar:

  1. terima kasih atas infonya . ini sangat bermanfaat untuk saya .

    BalasHapus