Laporan : Fileks Talakua-Ambon
AMBON (Maluku Online)– Deputi 1 Bidang Pemberdayaan Pemuda Alfitra Salamm dianggap tidak pantas menduduki jabatannya itu. Seorang peserta Seminar Undang-Undang Pemuda melontarkan pernyataan tersebut di kampus Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon, Senin (28/11).
“Anda tidak layak jadi Deputi 1. Anda lebih tepat menjabat menteri pemuda dan olahraga (menpora),” ujar anggota Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Angky Dahoklory saat tanya jawab dengan Alfitra.
Alfitra memang disambut meriah di kampus UKIM Ambon layaknya kedatangan menteri. Ia tiba di Kampus UKIM pukul 15.30 Wit. Musik Maluku Tifa totobuang mengiringi kedatangannya.
Mahasiswa dari beberapa universitas di Ambon dan sejumlah anggota Organisasi Kemasyarakatan Pemuda (OKP) sudah menunggu. Saat memasuki aula, Alfitra disuguhi lantunan lagu oleh paduan suara mahasiswa UKIM Vox Angelorum Choir lewat tembang Ambon Manise.
Presiden Senat Mahasiswa UKIM Ambrosius Rahanwaty saat member sambutan selamat datang, menyampaikan harapan agar deputi bisa melihat UKIM dan lembaga-lembaga swasta lainnya di Maluku. Dia meminta Maluku diperhatikan sebab bagaimanapun, NKRI adalah harga mati bagi masyarakat Maluku.
Rektor UKIM Agus Batlajery, dalam sambutannya mengatakan UKIM terbuka bagi semua agama, baik Kristen maupun Islam.
“Karena universitas kami adalah pelopor pluralisme sehingga hidup bersama dan harmonis,” ujarnya.
Batlajery mengharapkan kedatangan menteri untuk memberi semangat bagi para mahasiswa yang berminat dalam program ekstrakulikuler berupa seni maupun olahraga.
“Selain itu kami juga mendorong pemuda dari kedua komunitas menjadi agen perdamaian,” ujar rektor
REGENERASI
Alfitra dalam seminar tentang Undang-Undang Kepemudaan Nomor 40 tahun 2009 menyatakan, undang-undang yang memiliki masa transisi sampai 2013 ini membicarakan tentang batas umur usia pemuda 16 samapi 30 tahun. Dia tegaskan, tidak ada ketua organisasi pemuda berusia di atas 30 tahun ketika undang-undang ini berlaku.
“Karena tujuannya adalah regenerasi dan masa pensiun,” tekannya.
Menurut dia, dibuatnya standar organisasi karena tidak mudah lagi membuat suatu organisasi pemuda. Atas dasar itu dia mendorong pemuda sebagai generasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat membuat komunitas yang kreatif.
“Sehingga pemuda makin tertarik pada kreatifitas,” tandasnya.
Ditambahkan, olahraga saat ini sudah menjadi profesi, pekerjaan, dan tren anak muda yang sehat. Sebab itu, dia berjanji akan berbicara dengan menpora supaya UKIM dicatat menjadi peserta dalam kegiatan-kegiatan menpora.
Mahasiswa berbagai universitas turut meresponi pembicaraan Alfitra. Mereka mengeluh fasilitas olahraga di Maluku yang masih tertinggal. Alfitra mendorong para rektor dan komponen mahasiswa mendesak kementrian untuk memperhatikan aspirasi daerah.
Pikiran-pikiran Alfitra ini mendapat sambutan positif mahasiswa. Dari sinilah anggota Lumbung Informasi Rakyat (LIRA) Angky Dahoklory menyatakan, Alfitra cocok jadi Menpora.
Minggu, 04 Desember 2011
Air Mata Tumpah di Gong Perdamaian
Laporan : Fileks Talakua – Ambon
AMBON (Maluku Online) – Hujan tercurah dari langit Ambon sempay membuat aktivis gerakan Badati agak ciut. Para muda Islam dan Kristen itu bakal menggelar kegiatan refleksi damai di area Gong Perdamaian Dunia, di samping Benteng Nieuw Victoria Ambon.
Lantai semen di area Gong Perdamaian Dunia sempat digenangi air. Padahal, para peserta dari berbagai lokasi di Ambon akan lesehan di situ. Untunglah, pada waktunya, gerimis menghilang dan acara mengalir dalam bayangan hujan.
Sekitar 100 orang muda dan beberapa orang tua berkumpul di pelataran barat. Mereka datang dari Ahuru, Air Mata Cina, Diponegoro, Mangga Dua, Petak Sepuluh, Kate-Kate. Sejumlah petugas polisi nampak berjaga-jaga di seputaran areal kegiatan.
Acara dipandu MC Micky Joseph, diawali laporan panitia. Sekretaris panitia Rais Rumalutur menyatakan, kegiatan refleksi damai ini semata-mata untuk memperkuat perdamaian di Ambon.
Seorang korban dari Halong Mardika bernama Aprino Berhitu membacakan narasi yang ditulisnya dari pengalaman peristiwa 11 September. Aprino menulis narasi tersebut di blog pribadi dan facebook. Selain dimuat di majalah Kanjoli yang diterbitkan Lembaga Antar Iman Maluku, narasi ini pernah dibacakan Aprino di mimbar gereja Maranatha, yakni gereja pusat Gereja Protestan Maluku di Ambon.
Narasi itu mengharukan, sebab Aprino berkisah tentang rumahnya yang hancur, perkenalannya dengan Almascatie Be, seorang pemuda Muslim Ambon. Walau baru kenal dekat beberapa hari, ternyata Almascatie bisa menggugah batin Aprino yang hancur luluh melihat rumahnya dilalap api. SMS Almascatie pada saat-saat kritis itu, menurut Aprino sungguh bernilai bagi perdamaian. Seorang pemuda Islam memperkuat batin seorang pemuda Kristen. Para peserta menyambut penuh haru kisah bertajuk “Nilai SMS Almascatie”.
Ighy Palembang, tiba-tiba muncul dengan suara melengking. Nona Waihaong ini menyanyikan bait pertama “Suci dalam Debu” yang dipopulerkan kelompok musisi Malaysia, Iklim. Ternyata ini adalah awal dari pentas puisi teatrikal bersama George Marcel. George dan Ighy secara bergantian membaca puisi naratif dan dialog tentang proses saling memaafkan di antara warga.
Pada bagian akhir, George bersujud di depan kaki Ighy. Ighy bersandar di punggung George yang sedang sujud. Penggalan lagu “Maafkan Daku” ciptaan Bing Leiwakabessy, menjadi penutup adegan.
Usai pentas, dalam remang lampu, mata Ighy dan George sama-sama berkaca. George bahkan memeluk Elsye Syauta, koordinator gerakan Badati. Sambil menutup mata dengan kaos, dia terbenam di bahu Elsye.
“Beta membayangkan banyak yang mati. Beta rasa ancor liat Ambon ancor. Beta bayangkan kebakaran di Ambon,” ujar George kepada Maluku Online.
George tak cuma baca puisi dan menumpahkan air mata. Dia punya visi damai yang tak kalah unik. Menurut dia, perdamaian sejati bisa terwujud ketika rumah orang Islam dan Kristen sudah saling bersebelahan sebagai tetangga yang rukun.
“Kalau ada orang Kristen mati, toa masjid menginformasikan. Sebaliknya, kalau orang Islam mati, informasi kepada jemaat bisa melalui pengeras suara di gereja,” katanya.
Weslly Johannes, pendamping anak-anak Gunung Mimpi di Amahusu, menjadi moderator dalam sesi dialog. Para peserta diminta meresponi arti perdamaian. Muhammad Latupono tampil. Dia menekan supaya hal-hal pahit di masa lalu tidak terulang lagi. Harapan damai juga disampaikan pemuda bernama Andi. Dia memaknai agama sebagai kehidupan yang tidak kacau.
Pembicara lain Heri Latupono menyatakan, di Ambon jangan ada perbedaan antara pendatang dan orang Maluku. Hal ini diperkuat Stanley Ferdinandus, yang menyerukan semua orang yang sudah tinggal di Ambon supaya memiliki tanggung jawab membangun kotanya,
Ali Topan, pemuda dari Kate-Kate tidak kalah menggugah. Dia mengingatkan prinsip Bung Karno semasa mendirikan negara ini. “Yang penting, kita merdeka dulu. Pembangunan itu, nanti setelah merdeka,” kutipnya.
Dari pernyataan Bung Karno, Ali Topan menekankan, banyak yang bisa dilakukan di Ambon. Namun, syarat paling utama adalah perdamaian. Ali juga menggambarkan, sebelum tahun 1999, tidak ada pemukiman di Kate-Kate. Justru karena konflik, lahirlah pemukiman Kate-Kate yang semuanya pengungsi. Walau demikian, pada 11 September lalu, ketika terjadi konflik di beberapa titik di dalam kota, Kate-Kate justru berjuang untuk perdamaian.
“Nah, dialog damai tidak hanya sampai di sini, namun yang paling penting dalam hidup kita setiap hari di luar sana,” pesan Weslly saat menutup sesi diskusi.
Moses Muskitta, Novel Muskitta dan Rhyo Diaz yang tergabung dalam kelompok musik rap Cidade de Amboino lantas tampil dengan lagu “Sampe Jua”. Lagu ini cukup menggugah sebab dikerjakan ketiganya dalam waktu dua jam, ketika beberapa titik di Ambon sedang dilanda asap kebakaran dan aksi baku lempar batu.
“Sioh basudara e, sampe jua e,” begitu teriakan para muda ini dalam lagunya yang juga disebar di You Tube dan 4Shared.
Empat perempuan dan enam laki-laki dari Bengkel Seni Embun pun menyajikan aksi teatrikal berjudul White for Peace. Diiringi suara musik bambu toleng-toleng, mereka memperagakan situasi perang dan damai. Penggalan puisi Chairil Anwar berjudul Cerita Buat Dien Tamaela, menjadi daya pikat performa ini.
Refleksi damai dengan Bahasa Tana dibawakan oleh penyair Rudi Fofid dan diterjemahkan oleh Elsye Syauta. Syairnya dikerjakan oleh Pierre Ajawaila, dengan mengadopsi model pasawari di Maluku Tengah. Rudi juga menuntun peserta memasuki situasi hening untuk mengenang dan mendoakan seluruh korban dalam konflik Maluku.
“Bulu kuduk saya berdiri,” ujar Pdt Jacky Manuputty dalam catatan refleksi di akun facebooknya. Perasaan yang sama dicetuskan Muhammad Irfan Ramly dalam blog pribadinya.
Fileks Talakua dan Rahayu Rabrusun membacakan petisi damai, yang dirumuskan dari sesi dialog. Lagu “Pancasila Rumah Kita” ciptaan Frangky Sahilatua menjadi penutup kegiatan, ketika pada peserta membubuhkan tanda tangan pada kain putih sebagai tekad untuk terus berjuang bagi perdamaian di Maluku.
AMBON (Maluku Online) – Hujan tercurah dari langit Ambon sempay membuat aktivis gerakan Badati agak ciut. Para muda Islam dan Kristen itu bakal menggelar kegiatan refleksi damai di area Gong Perdamaian Dunia, di samping Benteng Nieuw Victoria Ambon.
Lantai semen di area Gong Perdamaian Dunia sempat digenangi air. Padahal, para peserta dari berbagai lokasi di Ambon akan lesehan di situ. Untunglah, pada waktunya, gerimis menghilang dan acara mengalir dalam bayangan hujan.
Sekitar 100 orang muda dan beberapa orang tua berkumpul di pelataran barat. Mereka datang dari Ahuru, Air Mata Cina, Diponegoro, Mangga Dua, Petak Sepuluh, Kate-Kate. Sejumlah petugas polisi nampak berjaga-jaga di seputaran areal kegiatan.
Acara dipandu MC Micky Joseph, diawali laporan panitia. Sekretaris panitia Rais Rumalutur menyatakan, kegiatan refleksi damai ini semata-mata untuk memperkuat perdamaian di Ambon.
Seorang korban dari Halong Mardika bernama Aprino Berhitu membacakan narasi yang ditulisnya dari pengalaman peristiwa 11 September. Aprino menulis narasi tersebut di blog pribadi dan facebook. Selain dimuat di majalah Kanjoli yang diterbitkan Lembaga Antar Iman Maluku, narasi ini pernah dibacakan Aprino di mimbar gereja Maranatha, yakni gereja pusat Gereja Protestan Maluku di Ambon.
Ighy Palembang, tiba-tiba muncul dengan suara melengking. Nona Waihaong ini menyanyikan bait pertama “Suci dalam Debu” yang dipopulerkan kelompok musisi Malaysia, Iklim. Ternyata ini adalah awal dari pentas puisi teatrikal bersama George Marcel. George dan Ighy secara bergantian membaca puisi naratif dan dialog tentang proses saling memaafkan di antara warga.
Pada bagian akhir, George bersujud di depan kaki Ighy. Ighy bersandar di punggung George yang sedang sujud. Penggalan lagu “Maafkan Daku” ciptaan Bing Leiwakabessy, menjadi penutup adegan.
Usai pentas, dalam remang lampu, mata Ighy dan George sama-sama berkaca. George bahkan memeluk Elsye Syauta, koordinator gerakan Badati. Sambil menutup mata dengan kaos, dia terbenam di bahu Elsye.
“Beta membayangkan banyak yang mati. Beta rasa ancor liat Ambon ancor. Beta bayangkan kebakaran di Ambon,” ujar George kepada Maluku Online.
George tak cuma baca puisi dan menumpahkan air mata. Dia punya visi damai yang tak kalah unik. Menurut dia, perdamaian sejati bisa terwujud ketika rumah orang Islam dan Kristen sudah saling bersebelahan sebagai tetangga yang rukun.
“Kalau ada orang Kristen mati, toa masjid menginformasikan. Sebaliknya, kalau orang Islam mati, informasi kepada jemaat bisa melalui pengeras suara di gereja,” katanya.
Weslly Johannes, pendamping anak-anak Gunung Mimpi di Amahusu, menjadi moderator dalam sesi dialog. Para peserta diminta meresponi arti perdamaian. Muhammad Latupono tampil. Dia menekan supaya hal-hal pahit di masa lalu tidak terulang lagi. Harapan damai juga disampaikan pemuda bernama Andi. Dia memaknai agama sebagai kehidupan yang tidak kacau.
Pembicara lain Heri Latupono menyatakan, di Ambon jangan ada perbedaan antara pendatang dan orang Maluku. Hal ini diperkuat Stanley Ferdinandus, yang menyerukan semua orang yang sudah tinggal di Ambon supaya memiliki tanggung jawab membangun kotanya,
Ali Topan, pemuda dari Kate-Kate tidak kalah menggugah. Dia mengingatkan prinsip Bung Karno semasa mendirikan negara ini. “Yang penting, kita merdeka dulu. Pembangunan itu, nanti setelah merdeka,” kutipnya.
Dari pernyataan Bung Karno, Ali Topan menekankan, banyak yang bisa dilakukan di Ambon. Namun, syarat paling utama adalah perdamaian. Ali juga menggambarkan, sebelum tahun 1999, tidak ada pemukiman di Kate-Kate. Justru karena konflik, lahirlah pemukiman Kate-Kate yang semuanya pengungsi. Walau demikian, pada 11 September lalu, ketika terjadi konflik di beberapa titik di dalam kota, Kate-Kate justru berjuang untuk perdamaian.
“Nah, dialog damai tidak hanya sampai di sini, namun yang paling penting dalam hidup kita setiap hari di luar sana,” pesan Weslly saat menutup sesi diskusi.
Moses Muskitta, Novel Muskitta dan Rhyo Diaz yang tergabung dalam kelompok musik rap Cidade de Amboino lantas tampil dengan lagu “Sampe Jua”. Lagu ini cukup menggugah sebab dikerjakan ketiganya dalam waktu dua jam, ketika beberapa titik di Ambon sedang dilanda asap kebakaran dan aksi baku lempar batu.
“Sioh basudara e, sampe jua e,” begitu teriakan para muda ini dalam lagunya yang juga disebar di You Tube dan 4Shared.
Empat perempuan dan enam laki-laki dari Bengkel Seni Embun pun menyajikan aksi teatrikal berjudul White for Peace. Diiringi suara musik bambu toleng-toleng, mereka memperagakan situasi perang dan damai. Penggalan puisi Chairil Anwar berjudul Cerita Buat Dien Tamaela, menjadi daya pikat performa ini.
Refleksi damai dengan Bahasa Tana dibawakan oleh penyair Rudi Fofid dan diterjemahkan oleh Elsye Syauta. Syairnya dikerjakan oleh Pierre Ajawaila, dengan mengadopsi model pasawari di Maluku Tengah. Rudi juga menuntun peserta memasuki situasi hening untuk mengenang dan mendoakan seluruh korban dalam konflik Maluku.
“Bulu kuduk saya berdiri,” ujar Pdt Jacky Manuputty dalam catatan refleksi di akun facebooknya. Perasaan yang sama dicetuskan Muhammad Irfan Ramly dalam blog pribadinya.
Fileks Talakua dan Rahayu Rabrusun membacakan petisi damai, yang dirumuskan dari sesi dialog. Lagu “Pancasila Rumah Kita” ciptaan Frangky Sahilatua menjadi penutup kegiatan, ketika pada peserta membubuhkan tanda tangan pada kain putih sebagai tekad untuk terus berjuang bagi perdamaian di Maluku.
Fileks Talakua, Cucu Pemain Biola
MALUKU ONLINE saat ini ditopang empat nyong Ambon yang berminat pada jurnalistik. Mereka masih muda, energik dan ingin membaktikan diri membangun Maluku. Siapa saja mereka ? Berikut ini salah satu dari empat sekawan tersebut.
Fileks Talakua, lahir di Ambon 26 Juli 1988. Anak sulung tiga bersaudara. Ayahnya Agustinus Talakua, seorang pengemudi angkutan kota. Ibunya, Henderdjela Manusiwa yang bekerja di Kantor Legium Veteran RI di Ambon.
Vicky, begitu biasa dia disapa. Mahasiswa semester ketujuh di Fakultas Teologia Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon ini, gemar melukis sketsa wajah manusia. Kakeknya bernama Filex Talakua, memang seorang seniman. Vicky tak sekadar membawa nama sang kakek, tapi juga darah seni. Meskipun sang kakek seorang pemain biola pada sebuah grup music Hawaiian di Porto, Saparua.
Vicky mulai gemar tulis-menulis saat masuk kuliah di kampusnya. Opini-opini tentang beragam isu ditulis dan disebarkan melalui blog (http://mercury-fileksmolucas.blogspot.com/).
Dia pernah dipilih menjadi salah satu team buletin Komisariat Teologi GMKI Ambon hingga sekarang. Selain itu juga aktif dalam organisasi, seperti senat mahasiswa dan Angkatan Muda GPM.
Menjadi seorang jurnalis dengan ilmu yang berbeda, tak segampang yang dipikirkan. Namun persoalan melayani tidak memilih tempat dan dengan cara apa.
“Maluku Online menjadi salah satu pilihan saya bersaksi dan melayani, ujar Vicky
FILEKS TALAKUA : email filekstalakua@gmail.com. Facebook Fileks Talakua Manusiwa
Fileks Talakua, lahir di Ambon 26 Juli 1988. Anak sulung tiga bersaudara. Ayahnya Agustinus Talakua, seorang pengemudi angkutan kota. Ibunya, Henderdjela Manusiwa yang bekerja di Kantor Legium Veteran RI di Ambon.
Vicky, begitu biasa dia disapa. Mahasiswa semester ketujuh di Fakultas Teologia Universitas Kristen Indonesia Maluku (UKIM) Ambon ini, gemar melukis sketsa wajah manusia. Kakeknya bernama Filex Talakua, memang seorang seniman. Vicky tak sekadar membawa nama sang kakek, tapi juga darah seni. Meskipun sang kakek seorang pemain biola pada sebuah grup music Hawaiian di Porto, Saparua.
Vicky mulai gemar tulis-menulis saat masuk kuliah di kampusnya. Opini-opini tentang beragam isu ditulis dan disebarkan melalui blog (http://mercury-fileksmolucas.blogspot.com/).
Dia pernah dipilih menjadi salah satu team buletin Komisariat Teologi GMKI Ambon hingga sekarang. Selain itu juga aktif dalam organisasi, seperti senat mahasiswa dan Angkatan Muda GPM.
Menjadi seorang jurnalis dengan ilmu yang berbeda, tak segampang yang dipikirkan. Namun persoalan melayani tidak memilih tempat dan dengan cara apa.
“Maluku Online menjadi salah satu pilihan saya bersaksi dan melayani, ujar Vicky
FILEKS TALAKUA : email filekstalakua@gmail.com. Facebook Fileks Talakua Manusiwa
Polisi Dinilai Lamban Urus Porto-Haria
Laporan : Fileks Talakua – Ambon
AMBON (Maluku Online) - Konflik antar Negeri Porto dan Haria di Saparua mengundang keprihatinan warga kedua negeri yang berada di Kota Ambon. Selain menyayangkan terulangnya peristiwa ini, mereka mengecam aparat keamanan yang dinilai lalai dan lamban.
Wakil Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Samasuru Amalatu (IPPSA) Yangki Wattimury berpendapat, persoalan yang menimpa warga Porto dan Haria adalah akibat Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Saparua terlambat mengambil sikap.
Wattimury menguraikan, pada tanggal 23 November, terjadi pemukulan anak-anak Porto ketika pulang sekolah yakni Arter Sahertian. Selain itu, Doklas Aponno terkena lemparan batu. Kejadian ini sudah dilaporkan orang tua korban ke pihak kepolisian, namun tidak ada tindak lanjut. Hari berikutnya, Arter Aponno kembali dipukul hingga tangannya patah.
“Polisi menganggap sepele. Padahal, kalau pelakunya ditangkap pasti persoalannya akan selesai,” ungkap Yangki.
Wattimury mempertanyakan kinerja kepolisian. Pasalnya, Kapolda Maluku sudah menurunkan personilnya ke daerah konflik untuk tugas pengamanan. Tetapi dia heran sebab tetap saja terjadi keributan.
“Aparat keamanan sudah tahu solusi apa yang harus diambil. Polisi sudah diterjunkan ke Porto dan Haria, tapi kalau masih rusuh mending dicabut saja. Kapolsek juga dicabut saja dari saparua karena tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Wattimury menyebutkan, aparat brimob juga sudah diturunkan namun kemudian ditarik kembali pada 25 November, karena langsung terjadi kekacauan padahal ini daerah konflik. Kepolisian diharapnya benar-benar menyelesaikan masalah, bersikap netral dan tidak memihak Porto maupun Haria.
Dia tegaskan, kepolisan seharusnya sudah tahu ada bunyi tembakan dari Porto atau Haria, ada senjata tajam atau senjata api yang harus dicari atau melakukan swiping. Para pelaku, menurut dia, mestinya ditangkap dan diproses secara hukum.
“Kalau tidak diselesaikan, persoalan ini akan terjadi terus-menerus,” tegasnya. (editor : rudi@malukuonline.co.id)
AMBON (Maluku Online) - Konflik antar Negeri Porto dan Haria di Saparua mengundang keprihatinan warga kedua negeri yang berada di Kota Ambon. Selain menyayangkan terulangnya peristiwa ini, mereka mengecam aparat keamanan yang dinilai lalai dan lamban.
Wakil Ketua Ikatan Pemuda Pelajar Samasuru Amalatu (IPPSA) Yangki Wattimury berpendapat, persoalan yang menimpa warga Porto dan Haria adalah akibat Kepala Kepolisian Sektor (Kapolsek) Saparua terlambat mengambil sikap.
Wattimury menguraikan, pada tanggal 23 November, terjadi pemukulan anak-anak Porto ketika pulang sekolah yakni Arter Sahertian. Selain itu, Doklas Aponno terkena lemparan batu. Kejadian ini sudah dilaporkan orang tua korban ke pihak kepolisian, namun tidak ada tindak lanjut. Hari berikutnya, Arter Aponno kembali dipukul hingga tangannya patah.
“Polisi menganggap sepele. Padahal, kalau pelakunya ditangkap pasti persoalannya akan selesai,” ungkap Yangki.
Wattimury mempertanyakan kinerja kepolisian. Pasalnya, Kapolda Maluku sudah menurunkan personilnya ke daerah konflik untuk tugas pengamanan. Tetapi dia heran sebab tetap saja terjadi keributan.
“Aparat keamanan sudah tahu solusi apa yang harus diambil. Polisi sudah diterjunkan ke Porto dan Haria, tapi kalau masih rusuh mending dicabut saja. Kapolsek juga dicabut saja dari saparua karena tidak bertanggung jawab,” ujarnya.
Wattimury menyebutkan, aparat brimob juga sudah diturunkan namun kemudian ditarik kembali pada 25 November, karena langsung terjadi kekacauan padahal ini daerah konflik. Kepolisian diharapnya benar-benar menyelesaikan masalah, bersikap netral dan tidak memihak Porto maupun Haria.
Dia tegaskan, kepolisan seharusnya sudah tahu ada bunyi tembakan dari Porto atau Haria, ada senjata tajam atau senjata api yang harus dicari atau melakukan swiping. Para pelaku, menurut dia, mestinya ditangkap dan diproses secara hukum.
“Kalau tidak diselesaikan, persoalan ini akan terjadi terus-menerus,” tegasnya. (editor : rudi@malukuonline.co.id)
Kamis, 01 Desember 2011
Impian Pemudi Tulehu Membangun Maluku Lewat Pariwisata (diskusi via sms pemudi Tulehu dan pemuda Saparua)
Dian, salah satu pemudi asal Tulehu yang memiliki impian untuk memajukan Maluku lewat Pariwisata. Mengajak beta untuk berdebat, dengan topik Pariwisata di Maluku rabu soreh (30/11).
Perdebatan ini berawal ketika salah satu dosennya mengatakan kalau di Maluku terdapat banyak pariwisata namun memiliki sumber daya manusia yang terbatas. Dari pernyataan ini beta menanggapi bahwa orang Maluku memiliki sumber daya manusia yang banyak namun tidak diperhatikan, malah didatangkan tenaga-tenaga dari luar dan kalah terhadap papua yang mengutamakan anak daerah.
Lewat via sms dian menanggapi apa yang beta sampaikan ini kata dian.
“Secara awam pariwisata di indonesia dapat disimpulkan sebagai obyek yang disiapkan oleh pemilik wisata untuk ditonton oleh pelancong atau dengan kata lain umumnya adalah sebagai pariwisata budaya yang berpusat pada masyarakat, jadi kalau dilihat di wilayah indonesia timur itu memang betul kurang adanya sumberdaya manusia yang memadai karena kurangnya tenaga terdidik dan berpengalaman dan di bidang pariwisata tersebut karena di ambon misalnya, tidak terdapat lembaga pendidikan kepariwisataan. Dan juga yang pergi kuliah pariwisata misalkan di jawa setelah lulus mereka banyak keluar negri, selain itu banyak praktisi yang hanya mengandalkan pengalaman selama membuka usaha di bidang tersebut sedangkan pemberdayaan dari pemerintah kepada pelaku pariwisata tidak ada sama sekali”.
Jawaban ini membuat beta menarik kesimpulan bahwa, pertama adanya sumber daya manusia namun pergi dan lupa memberdayakan Maluku, kedua fasilitas (lemabaga pendidikan) minim di Maluku, dan Ketiga kurangnya pemberdayaan yang dilakukan oleh pemerintah terhadap masyarakat.
Diskusi selanjutnya beta menyampaikan via sms kepada dian bahwa
“Pasca konflik pengunjung menurun karena soal keamanan di maluku, kedua setiap pengunjung yang datang pasti punya skejul. Misalnya mau ke banda direncanakan tiga hari tapi karena transportasi yang satu minggu satu kali misalnya membuat pengunjung ragu untuk datang.... pariwisata dimaluku bisa maju dan llebih baik ketika orang maluku sendiri bangun kenyamanan buat pengunjung”.
Adik dian meresponi baik pemikiran yang beta utarakan ini. hal yang menjadi sorotan berikuntnya bagi dian adalah transportasi dan pemanfaatan sehingga dian menegaskan.
“Masalah transportasi juga merupakan suatu kendala pariwisata di ambon bisa maju yang penting bagaimana kita bisa memanfaatkan 4P (product, price, place, promotion) sangat sulit untuk mengembangkan roda kehidupan pariwisata agar sesuai dengan apa yang diharapkan namun bukan berarti tidak bisa. Jika kita membicarakan masalah pariwisata maka hal ini tak akan lepas dari bagaimana cara kita menjual dan memasarkan keindahan dan kekayaan pariwisata yang kita miliki di mata dunia”
Dari jawaban ini saya kembali mersponi dengan sedikit memberi argumen lewat apa yang saya baca di internet. Dan berdiskusi dengan salah satu teman saya di komunitas badati[1]. “Kk sempat browsing di internet banyak orang di seluruh dunia yang datang maupun belum pernah datang . sebagian sudah mengenal pariwisata di Maluku tapi yang jadi persoalan utama adalah keamanan jadi mari katong Islam- Kristen stop biking maluku manangis katong gandeng tangan bangun maluku sama-sama adik”
Dian merespon. “Ituuuu akang kaka e.. katong harus damai jang mau terprovokasi katong hidup basudara, pela gandong baru kanapa harus ada rusuh-rusuh seperti bagitu. Katong maluku sudah saatnya maju”
“Spakat adik maju maluku n maju pariwisata”. Menjadi jawaban saya terakhir dalam perdebatan (diskusi) via sms ini.
Sungguh menjadi salah satu penglaman berharga bisa berdiskusi dengan adik Dian. Akhir yang baik seorang pemudi Tulehu dan beta pemuda saparua (Porto)bisa mendiskusikan tentang pariwisata di Maluku yang akhirnya membicarakan tentang Perdamian di Maluku.
Hal yang beta dapat dari diskusi ini adalah Pariwisata di Maluku yang begitu banyak, butuh pemuda-pemudi yang kreatif dan komitmen dengan keinginan mereka untuk kembali mangente (melihat) tanah Maluku ketika mencapai kesuksesan di tanah rantau, pemerintah harus lebih memperhatikan infrastruktur (transportasi) di daerah-daerah khususnya Maluku yang memiliki banyak keindahan alam serta bagi masyarakat Maluku keamanan tercipta bukan dari pemerintah saja tetapi juga orang Maluku (orang yang sudah menetap di Maluku seluruhnya) karena membangun Maluku adalah tanggung jawab bersama.
Akhir penulisan ini tanggal (1/12). beta minta Danke vor adik Dian semoga tujuan adik untuk membangun Maluku lewat pariwisata bisa terwujud
Salam damai dari Timur untuk adik Dian Mardiana Kurniasih Ohorella di tanah rantau.
[1] Badati= salah satu komunitas yang bergerak di Ambon dari akar rumput (masyarakat) untuk menyuarakan tentang perdamaian. Badati sendiri memiliki arti secara harafiah adalah batanggong. Anggotanya dari pemuda/i salam dan sarane.
Pariwisata di Maluku Butuh “Komitmen” (diskusi via sms pemudi Tulehu dan pemuda Saparua)
Hasil diskusi yang beta buat lewat tulisan ini mungkin tidak semenarik dan sebaik yang teman-teman lakukan. Diskusi ini sebenarnya sudah dimulai tanggal (29/11) dan dilanjutkan tanggal (30/11) lewat permintaan teman saya yang disapa adik Dian.
Selasa malam (29/11)Dian dan beta mulai menyapa lewat SMS sekitar pukul 23.00 malam waktu ambon dan pukul 21.00 malam waktu jakarta. Berawal dari saling menyapa sehingga menanyakan proses kuliahnya Dian.
Dian adalah salah satu pemudi Tulehu yang menjadi mahasiswi di universitas Trisakti Fakultas pariwisata. Dengan basic ilmu yang seperti ini beta ragu untuk memulai diskusi tentang pariwisata. Namun kenapa tidak bila ini menambah pengetahuan. Dalam sms Dian mengatkan bahwa ketika memulai perkuliahan salah satu dosennya mengatkan kalau di Maluku pariwisatanya sangat banyak namun sumber daya manusianya terbatas.
Kemudian beta menanyakan untuk dian apa tanggapanmu? Dian menjawab “setuju kaka”. Alasan dian menjawab seperti ini lebih jelasnya dapat dilihat lewat diskusi di rabu soreh (30/11).
Hal saling menyapa lewat sms kembali terjadi sekitar pukul 15.00 waktu Ambon. Ketika Dian mengatakan bahwa Dian sudah selesai kuliah, selanjutnya beta dan dian bermain tebak-tebakan via sms. Karena merasa bosan Dian mengajak untuk berdebat. Beta pun meresponi baik permintaan Dian ini.
Perdebatan via sms dengan topik pariwisata di bekali sms semalam lewat perkataan sang dosen, beta pun meresponi pernyataan itu dengan tanggapan yang berbeda, beta mengatakan “ Kaka seng stuju soal sumber daya manusianya kurang, kayak dosen yang adik sampaikan. Karena Maluku punya sumberdaya manusia yang banyak cuman tidak diperhatikan malah didatangkan sumber daya dari luar Maluku kala sama papua. Orang asli daerah yang diutamakan”. Kalimat ini beta utarkan sesuai dengan penglaman beta ketika mengikuti seleksi bintara POLRI tahun 2007, ucapan yang slalu di lontarkan oleh pejabat pemerintah bahwa mengutamakan anak negeri. Namun hasilnya orang luar Maluku yang mendapat tempat lebih dalam penyeleksian calon bintara.
Dian yang memiliki keinginan setelah selesai studinya akan kembali membangun pariwisata di Maluku pun meresponi apa yang beta sampaikan. “Secara awam pariwisata di indonesia dapat disimpulkan sebagai pbyek yang disiapkan oleh pemilik wisata untuk ditonton oleh pelancong atau dengan kata lain umumnya adalah sebagai pariwisata budaya yang berpusat pada masyarakat, jadi kalau dilihat di wilayah indonesia timur itu memang betul kurang adanya sumberdaya manusia yang memadai karena kurangnya tenaga terdidik dan berpengalaman dan di bidang pariwisata tersebut karena di ambon misalnya, tidak terdapat lembaga pendidikan kepariwisataan. Dan juga yang pergi kuliah pariwisata misalkan di jawa setelah lulus mereka banyak keluar negri, selain itu banyak praktisi yang hanya mengandalkan pengalaman selama membuka usaha di bidang tersebut sedangkan pemberdayaan dari pemerintah kepada pelaku pariwisata tidak ada sama sekali”.
Jawaban yang lumayan panjang ketika diterima dengan HP yang fiturnya biasa. beta pun bingung untuk membalas tanggapan ini. dengan pengetahuan yang berbeda beta pun menguras otak untuk mengetik kata-kata di HP. Untungnya ada opa rudi yang dapat di ajak diskusi sehingga membuka pikiran beta. Tanpa lama beta pun membalasa sms Dian dengan menyimpulkan pokok-pokok yang disampaikan olehnya. “Pertama tenaga sumberdaya manusia ada tapi menghilang. Kedua fasilitas (lembaga pendidikan) tidak ada Di maluku. Ketiga lebih mencari keuntungan ketimbang pemberdayaan.. mmm he3x orang punya bidang ni e..., kalau gitu kk menambahkan. Pasca konflik pengunjung menurun karena soal keamanan di maluku, kedua setiap pengunjung yang datang pasti punya skejul. Misalnya mau ke banda direncanakan tiga hari tapi karena transportasi yang satu minggu satu kali misalnya membuat pengunjung ragu untuk datang.... pariwisata dimaluku bisa maju dan llebih baik ketika orang maluku sendiri bangun kenyamanan buat pengunjung”.
Sms ini sebenarnya membuat beta jadi canggung untuk berdebat, lebih lanjut karena seperti yang beta bilang lebih awal bahwa beta kurang memahami tentang pariwisata.
Namun danke (terima kasih) adik dian sudah memberi banyak masukan kepada beta. lewat perbincangan via sms ini. selanjutnya dian pun meresponi apa yang beta sampaikan. “Yaah betul sekali kak. Masalah transportasi juga merupakan suatu kendala pariwisata di ambon bisa maju yang penting bagaimana kita bisa memanfaatkan 4P (product, price, place, promotion) sangat sulit untuk mengembangkan roda kehidupan pariwisata agar sesuai dengan apa yang diharapkan namun bukan berarti tidak bisa. Jika kita membicarakan masalah pariwisata maka hal ini tak akan lepas dari bagaimana cara kita menjual dan memasarkan keindahan dan kekayaan pariwisata yang kita miliki di mata dunia”
Dari jawaban ini saya kembali mersponi dengan sedikit memberi argumen lewat apa yang saya baca di internet. Dan berdiskusi dengan salah satu teman saya di komunitas badati[1]. “Kk sempat browsing di internet banyak orang di seluruh dunia yang datang maupun belum pernah datang . sebagian sudah mengenal pariwisata di Maluku tapi yang jadi persoalan utama adalah keamanan jadi mari katong Islam- Kristen stop biking maluku manangis katong gandeng tangan bangun maluku sama-sama adik”
Dian merespon. “Ituuuu akang kk e katong harus damai jang mau terprovokasi katong hidup basudara, pela gandong baru kanapa harus ada rusuh-rusuh seperti bagitu. Katong maluku sudah saatnya maju”
“Spakat adik maju maluku n maju pariwisata”. Menjadi jawaban saya terakhir dalam perdebatan (diskusi) via sms ini.
Sungguh menjadi salah satu penglaman berharga bisa berdiskusi dengan adik Dian. Akhir yang baik seorang pemudi Tulehu dan beta pemuda saparua (Porto)bisa mendiskusikan tentang pariwisata di Maluku yang akhirnya membicarakan tentang Perdamian di Maluku.
Hal yang beta dapat dari diskusi ini adalah Pariwisata di Maluku yang begitu banyak, butuh pemuda-pemudi yang kreatif dan komitmen dengan keinginan mereka untuk kembali mangente (melihat) tanah Maluku ketika mencapai kesuksesan di tanah rantau, pemerintah harus lebih memperhatikan infrastruktur (transportasi) di daerah-daerah khususnya Maluku yang memiliki banyak keindahan alam serta bagi masyarakat Maluku keamanan tercipta bukan dari pemerintah saja tetapi juga orang Maluku (orang yang sudah menetap di Maluku seluruhnya) karena membangun Maluku adalah tanggung jawab bersama.
Akhir penulisan ini tanggal (1/12) beta minta Danke vor adik Dian semoga tujuan adik untuk membangun maluku lewat pariwisata bisa terwujud
Salam damai dari Timur untuk adik Dian Mardiana Kurniasih Ohorella di tanah rantau.
[1] Badati= salah satu komunitas yang bergerak di Ambon dari akar rumput (masyarakat) untuk menyuarakan tentang perdamaian. Badati sendiri memiliki arti secara harafiah adalah batanggong. Anggotanya dari pemuda/i salam dan sarane.
Langganan:
Postingan (Atom)